Siapakah
pria yang paling gagah dan kuat di dunia ini? Ade Ray? Mike Tyson? Atau bahkan Mariusz Pudzianowski yang
memegang rekor mengangkat beban hingga berat 255,5 kg? Siapakah pria yang
paling terkaya di muka bumi ini? Aburizal Bakrie? Bill gates? Atau bahkan
Carlos Slim Beru yang kini memilki harta sebesar US$ 69 miliar. Perkiraan itu
benar tapi tidak bagiku. Bagiku, pria terkuat dan terkaya adalah, Ayahku.
Namanya
Mamak, dia adalah ayahku yang aku banggakan belakangan ini. Aku berkata :
BELAKANGAN INI!! Karena memang dahulu aku merasa malu..
Kisahku
berawal dari masa kecilku yang penuh dengan kenaifan dan tanda Tanya. Aku sudah
memakai baju tidur dan siap-siap untuk bertemu jutaan mimpi dalam tidurku.
Seperti anak-anak pada umumnya, aku diajarkan untuk berdoa sebelum tidur. Doa
yang pertama aku ikuti dari ucapan ibuku adalah Surat Al-Fatihah yang baru aku
ingat tahun-tahun belakangan ini. Hal itu menandakan aku bukanlah anak yang
tangkas dan cerdas, bukan? Setelah usai memanjatkan doa (aku tak tahu arti dan
gunanya membaca itu), aku sumringah sekali menyabet bantal gulingku dan tidur
terlelap menuju kedamain yang hakiki.
Saat
adzan shubuh, aku terbangun. Bukan karena suara adzannya, melainkan suara ayah
yang sedang berusaha mengeluarkan dahak di kamar mandi. Aku tak langsung
kembali tidur, aku langsung duduk sambil merebahkan tubuh ke tembok. Aku baru tersadar
kalau ini sudah subuh ketika ayah datang dan langsung melentangkan sajadah
kearah kiblat (bukti kedua kalau aku bukan anak cerdas).
“Riris, tidur lagi sana, masih pagi”. Kata
ayah sambil bersiap-siap untuk menunaikan shalat shubuhnya.
Aku
hanya terdiam sampai ayahku melakukan sallam pada shalatnya, dan itu bertanda
bahwa ayah akan siap-siap untuk pergi ke pasar. Ayahku hanyalah seorang
pedagang daging di pasar tradisional. Shubuh, iya shubuh! Ia pergi ke pasar
usai shubuh. Kadang aku merasa iba..
Tak
terasa aku terlelap kembali. Kali ini aku berada dalam pelukan ibu, rasanya
nyaman sekali. Suara ayah samar-samar kudengar, yang bisa kutangkap pada waktu
itu hanyalah ayah berpamitan untuk pergi ke pasar. Ayah, semoga penjualanmu
hari ini bagus ya! Aku gumamkan kata itu hanya dalam hati dan doa (yang pasti
bukan surah Al-Fatiha).
Tak
terasa aku beranjak remaja dan duduk di bangku menengah pertama. Aku merasa
beruntung bisa disekolahkan di tempat yang mewah ini. Kebetulan, ibuku adalah
penebar ilmu juga di sekolah ini. Jadi, aku bisa asik-asikan minta uang jajan
semauku tapi, tetap saja tak bisa huhu.
Aku
menemui banyak teman-teman baru disini. Mulai dari kulit putih, hitam, rambut
panjang, pendek, dari keluarga kaya, biasa sampai tak punya. Aku suka
berkenalan dan berteman akrab dengan mereka karena, mereka lebih cantik dari
pada teman-temanku di SD yamg notabennya adalah anak kampung (sorry). Cara
bicara mereka saat mengobrol pun berbeda dengan teman-teman SDku yang selalu
menggunakan aksen medok jawa wong Dermayu.
kadang
aku merasa minder dan malu untuk berhadapan dan berteman dengan mereka. Dilihat
dari segi ekonomi, tentu aku ini tidak cocok dengan mereka semua, bukan? Sebagian
besar pekerjaan teman-temanku ini adalah seorang pengusaha, kerja kantoran,
arsitek, bahkan seorang boss dalam suatu perusahaan. Sedangkan aku?
Hal
yang aku takuti dan aku sadari sekarang bahwa yang aku takuti dulu itu tak
penting adalah aku takut nanti kalau mereka tahu kalau ayahku adalah seoramg
pedagang daging. Aku takut mereka menjauhiku, mereka mencibirku, mereka
merendahkanku bahkan ayahku! Aku takut, Yah.. dan maafkan aku…
dalam
batinku yang sebenarnya… apa salahnya jad pedagang daging? Melanggar hukum?
Pekerjaan haram? Tapi sesungguhnya itu hanyalah dalam pemikiranku saja, tak
kutegaskan dengan sikap! Ah entahlh, kuakui aku tak punya sikap untuk masalah
ini.
Pada
saat pelajaran Budi Pekerti, Ibu Aan menugaskan murid-muridnya untuk membuat
sesuatu untuk orang tua. Entah itu puisi, barang, dll. Aku bingung sekali, apa
yang bisa aku berikan pada ayah atau ibu? Bahkan akupun tak punya kepandaian
dan keahlian untuk membuat kreasi seni bahkan karya sastra (bukti ketiga kalau
aku ini bukan anak yang kreatif dan cerdas).
Setelah
berkutat dengan dunia ilmu pengetahuan yang tiada akhir, aku kembali tersedot
dalam hipnotika kasurku ini, leih tepatnya kasur sempit ini. Aku mulai
mengontrol pikiranku, memutar balikkan saraf-saraf yang ada di otak untuk
menghasilkan sebuah ide! Ya IDE!! Mencari ide lebih susah daripada mencari
dosa.
Aku
berusaha untuk memejamkan mata, bukan untuk berfikir melainkan untuk mencoba
tidur. Mungkin karena kelelahan yang melahap habis tenaga dan energiku ini.
Tapi seketika saraf-saraf diotakku menemukan ide! Ya IDE! Tak tinggal diam,
seluruh saraf yang ada di tubuhku refleks ikut bergerak dan melakukan aksi yang
ekstrem, yang belum pernah aku lakukan!! Aku menulis puisi. Ya! Puisi! Untuk
pertama kalinya aku menulis puisi, dan ini untuk Ayah..
Ayah, kau lebih kuat
dari Ade Ray, kuat untuk menopang keluarga.
Ayah, kau lebih kaya
dari para pejabat tinggi Negara, kaya akan kasih sayang dan perjuangan.
Terima kasih telah
membuatku bahagia,
Dan aku berjanji, akan
membuatmu lebih bahagia daripada kebahagiaan yang aku dapt sekarang.
Kurang
lebih puisinya seperti itu, aku lupa karena itu sudah berlangsung 6 tahun yang
lalu. Entah terinspirasi dari mana tulisan itu, tapi yang pasti saat aku
menulis puisi tersebut (aslinya lebih dari 9 baris) aku meneteskan air mata.
Aku teringat saat ayah mencium keningku saat shubuh ia harus brangkat mencari
nafkah, saat ia susah payah mengajariku naik sepeda, saat dia memelukku kala
aku takut akan petir, saat aku jatuh, saat ia berdoa untukku, saat ia mulai
menyadariku bahwa apa yang sedang dan sudah ia kerjakan hanya untuk keluarga.
aku
merasakan ketenangan, bukan karena aku bisa menulis puisi tapi karena tugas
sekolahku akhirnya rampung juga. Bagiku, tadi itu bukan puisi yang bagus.
Seperti
biasanya, aku bangun kala shubuh datang. Sejujurnya bukan untuk sholat,
melainkan untuk meninta uang jajan pada ayah seblum ayah berangkat ke pasar. Ia
memintaku untuk mengerjakan sholat shubuh terlebih dahulu tapi aku tetap
menjulurkan tangan kananku, pertanda meminta sesuatu yang berasal dari dalam
dompetnya.
Ayah
hanya tersenyum, ia mulai merogoh kantongnya dan mendapatkan dompet, ya dompet
yang usang. Aku mulai tersentuh pada adegan ini, aku mulai menelaah dompet
ayah. Dompet yang sudah tak layak pakai..
Aku
kembali memutar otak dan menemukan ide cemerlang dengan sigapnya. Ya! Aku akan
membelikan kado dompet untuk ayah. Tugas pemberian sesuatu kepada orang tua
akan dilaksanakn minggu depan. Mulai dari hari itu aku bertekad mengumpulkan
uang.
Hari
demi hari aku rela menyisihkan sebagian uang pesangonku untuk membeli dompet
ayah. Tapi, hasil yang di dapat masih jauh. Aku hanya berhasil mengumpulkan
uang sebanyak Rp. 30.000; sednagkan harga yang dibandrol dompet yang sebelumnya
aku liat adalah Rp. 80.000;. tapi, untunglah aku memiliki ibu yang baik yang
bisa membantuku menutup kekurangan ini. Terima kasih, ibuku yang cantik…
Hari
pemberianpun tiba, setelah kubungkus rapih, aku menyerahkannya pada ayah.
“Nih
Yah” Sambil menjulurkan tanganku dan langsung berlalu.
Sebenarnya
aku tak langsung pergi, aku mengintip dari balik tembok tempat ayah membuka
pemberianku. Ia mulai membuka kado yang aku persembahkan, kulihat ada guratan
senyum kecil di bibirnya. Saat ia membaca puisinya.. wajahnya langsung
tertunduk, aku melihatnya menangis, ingin aku memeluknya. Dan akhirnya akupun
ikut menangis..(dibalik tembok).
Ayah
langsung sibuk menghapus jejak-jejak bekas air mata yang meleleh itu ketika
tersadar kan kedatanganku secara tiba-tiba. Ayah hanya tersenyum padaku, aku
tahu itu adalah pengganti atas ucapan terima kasih. Ayah, hanya ini.. hanya dompet yang bisa aku berikan padamu :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar