Jumat, 05 Oktober 2012

Untuk Ayah..



Siapakah pria yang paling gagah dan kuat di dunia ini? Ade Ray? Mike Tyson? Atau bahkan Mariusz Pudzianowski yang memegang rekor mengangkat beban hingga berat 255,5 kg? Siapakah pria yang paling terkaya di muka bumi ini? Aburizal Bakrie? Bill gates? Atau bahkan Carlos Slim Beru yang kini memilki harta sebesar US$ 69 miliar. Perkiraan itu benar tapi tidak bagiku. Bagiku, pria terkuat dan terkaya adalah, Ayahku.
Namanya Mamak, dia adalah ayahku yang aku banggakan belakangan ini. Aku berkata : BELAKANGAN INI!! Karena memang dahulu aku merasa malu..
Kisahku berawal dari masa kecilku yang penuh dengan kenaifan dan tanda Tanya. Aku sudah memakai baju tidur dan siap-siap untuk bertemu jutaan mimpi dalam tidurku. Seperti anak-anak pada umumnya, aku diajarkan untuk berdoa sebelum tidur. Doa yang pertama aku ikuti dari ucapan ibuku adalah Surat Al-Fatihah yang baru aku ingat tahun-tahun belakangan ini. Hal itu menandakan aku bukanlah anak yang tangkas dan cerdas, bukan? Setelah usai memanjatkan doa (aku tak tahu arti dan gunanya membaca itu), aku sumringah sekali menyabet bantal gulingku dan tidur terlelap menuju kedamain yang hakiki.
Saat adzan shubuh, aku terbangun. Bukan karena suara adzannya, melainkan suara ayah yang sedang berusaha mengeluarkan dahak di kamar mandi. Aku tak langsung kembali tidur, aku langsung duduk sambil merebahkan tubuh ke tembok. Aku baru tersadar kalau ini sudah subuh ketika ayah datang dan langsung melentangkan sajadah kearah kiblat (bukti kedua kalau aku bukan anak cerdas).
 “Riris, tidur lagi sana, masih pagi”. Kata ayah sambil bersiap-siap untuk menunaikan shalat shubuhnya.
Aku hanya terdiam sampai ayahku melakukan sallam pada shalatnya, dan itu bertanda bahwa ayah akan siap-siap untuk pergi ke pasar. Ayahku hanyalah seorang pedagang daging di pasar tradisional. Shubuh, iya shubuh! Ia pergi ke pasar usai shubuh. Kadang aku merasa iba..
Tak terasa aku terlelap kembali. Kali ini aku berada dalam pelukan ibu, rasanya nyaman sekali. Suara ayah samar-samar kudengar, yang bisa kutangkap pada waktu itu hanyalah ayah berpamitan untuk pergi ke pasar. Ayah, semoga penjualanmu hari ini bagus ya! Aku gumamkan kata itu hanya dalam hati dan doa (yang pasti bukan surah Al-Fatiha).

Tak terasa aku beranjak remaja dan duduk di bangku menengah pertama. Aku merasa beruntung bisa disekolahkan di tempat yang mewah ini. Kebetulan, ibuku adalah penebar ilmu juga di sekolah ini. Jadi, aku bisa asik-asikan minta uang jajan semauku tapi, tetap saja tak bisa huhu.
Aku menemui banyak teman-teman baru disini. Mulai dari kulit putih, hitam, rambut panjang, pendek, dari keluarga kaya, biasa sampai tak punya. Aku suka berkenalan dan berteman akrab dengan mereka karena, mereka lebih cantik dari pada teman-temanku di SD yamg notabennya adalah anak kampung (sorry). Cara bicara mereka saat mengobrol pun berbeda dengan teman-teman SDku yang selalu menggunakan aksen medok jawa wong Dermayu.
kadang aku merasa minder dan malu untuk berhadapan dan berteman dengan mereka. Dilihat dari segi ekonomi, tentu aku ini tidak cocok dengan mereka semua, bukan? Sebagian besar pekerjaan teman-temanku ini adalah seorang pengusaha, kerja kantoran, arsitek, bahkan seorang boss dalam suatu perusahaan. Sedangkan aku?
Hal yang aku takuti dan aku sadari sekarang bahwa yang aku takuti dulu itu tak penting adalah aku takut nanti kalau mereka tahu kalau ayahku adalah seoramg pedagang daging. Aku takut mereka menjauhiku, mereka mencibirku, mereka merendahkanku bahkan ayahku! Aku takut, Yah.. dan maafkan aku…
dalam batinku yang sebenarnya… apa salahnya jad pedagang daging? Melanggar hukum? Pekerjaan haram? Tapi sesungguhnya itu hanyalah dalam pemikiranku saja, tak kutegaskan dengan sikap! Ah entahlh, kuakui aku tak punya sikap untuk masalah ini.

Pada saat pelajaran Budi Pekerti, Ibu Aan menugaskan murid-muridnya untuk membuat sesuatu untuk orang tua. Entah itu puisi, barang, dll. Aku bingung sekali, apa yang bisa aku berikan pada ayah atau ibu? Bahkan akupun tak punya kepandaian dan keahlian untuk membuat kreasi seni bahkan karya sastra (bukti ketiga kalau aku ini bukan anak yang kreatif dan cerdas).
Setelah berkutat dengan dunia ilmu pengetahuan yang tiada akhir, aku kembali tersedot dalam hipnotika kasurku ini, leih tepatnya kasur sempit ini. Aku mulai mengontrol pikiranku, memutar balikkan saraf-saraf yang ada di otak untuk menghasilkan sebuah ide! Ya IDE!! Mencari ide lebih susah daripada mencari dosa.
Aku berusaha untuk memejamkan mata, bukan untuk berfikir melainkan untuk mencoba tidur. Mungkin karena kelelahan yang melahap habis tenaga dan energiku ini. Tapi seketika saraf-saraf diotakku menemukan ide! Ya IDE! Tak tinggal diam, seluruh saraf yang ada di tubuhku refleks ikut bergerak dan melakukan aksi yang ekstrem, yang belum pernah aku lakukan!! Aku menulis puisi. Ya! Puisi! Untuk pertama kalinya aku menulis puisi, dan ini untuk Ayah..
Ayah, kau lebih kuat dari Ade Ray, kuat untuk menopang keluarga.
Ayah, kau lebih kaya dari para pejabat tinggi Negara, kaya akan kasih sayang dan perjuangan.
Terima kasih telah membuatku bahagia,
Dan aku berjanji, akan membuatmu lebih bahagia daripada kebahagiaan yang aku dapt sekarang.
Kurang lebih puisinya seperti itu, aku lupa karena itu sudah berlangsung 6 tahun yang lalu. Entah terinspirasi dari mana tulisan itu, tapi yang pasti saat aku menulis puisi tersebut (aslinya lebih dari 9 baris) aku meneteskan air mata. Aku teringat saat ayah mencium keningku saat shubuh ia harus brangkat mencari nafkah, saat ia susah payah mengajariku naik sepeda, saat dia memelukku kala aku takut akan petir, saat aku jatuh, saat ia berdoa untukku, saat ia mulai menyadariku bahwa apa yang sedang dan sudah ia kerjakan hanya untuk keluarga.
aku merasakan ketenangan, bukan karena aku bisa menulis puisi tapi karena tugas sekolahku akhirnya rampung juga. Bagiku, tadi itu bukan puisi yang bagus.
Seperti biasanya, aku bangun kala shubuh datang. Sejujurnya bukan untuk sholat, melainkan untuk meninta uang jajan pada ayah seblum ayah berangkat ke pasar. Ia memintaku untuk mengerjakan sholat shubuh terlebih dahulu tapi aku tetap menjulurkan tangan kananku, pertanda meminta sesuatu yang berasal dari dalam dompetnya.
Ayah hanya tersenyum, ia mulai merogoh kantongnya dan mendapatkan dompet, ya dompet yang usang. Aku mulai tersentuh pada adegan ini, aku mulai menelaah dompet ayah. Dompet yang sudah tak layak pakai..
Aku kembali memutar otak dan menemukan ide cemerlang dengan sigapnya. Ya! Aku akan membelikan kado dompet untuk ayah. Tugas pemberian sesuatu kepada orang tua akan dilaksanakn minggu depan. Mulai dari hari itu aku bertekad mengumpulkan uang.
Hari demi hari aku rela menyisihkan sebagian uang pesangonku untuk membeli dompet ayah. Tapi, hasil yang di dapat masih jauh. Aku hanya berhasil mengumpulkan uang sebanyak Rp. 30.000; sednagkan harga yang dibandrol dompet yang sebelumnya aku liat adalah Rp. 80.000;. tapi, untunglah aku memiliki ibu yang baik yang bisa membantuku menutup kekurangan ini. Terima kasih, ibuku yang cantik…
Hari pemberianpun tiba, setelah kubungkus rapih, aku menyerahkannya pada ayah.
“Nih Yah” Sambil menjulurkan tanganku dan langsung berlalu.
Sebenarnya aku tak langsung pergi, aku mengintip dari balik tembok tempat ayah membuka pemberianku. Ia mulai membuka kado yang aku persembahkan, kulihat ada guratan senyum kecil di bibirnya. Saat ia membaca puisinya.. wajahnya langsung tertunduk, aku melihatnya menangis, ingin aku memeluknya. Dan akhirnya akupun ikut menangis..(dibalik tembok).
Ayah langsung sibuk menghapus jejak-jejak bekas air mata yang meleleh itu ketika tersadar kan kedatanganku secara tiba-tiba. Ayah hanya tersenyum padaku, aku tahu itu adalah pengganti atas ucapan terima kasih. Ayah, hanya ini.. hanya dompet yang bisa aku berikan padamu :)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar